JAKARTA - Maraknya peredaran baju bekas ilegal masih menjadi tantangan serius bagi industri tekstil nasional.
Praktik importasi pakaian bekas yang dilarang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 dan Permendag Nomor 40 Tahun 2022 tetap terjadi, memicu kekhawatiran pelaku industri lokal.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui adanya celah dalam regulasi yang memungkinkan kebocoran masuknya baju bekas. Untuk itu, ia menegaskan akan memperketat aturan dan pengawasan di jalur masuk barang, sekaligus menindak tegas importir balpres yang melanggar aturan.
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wiraswasta menyambut baik langkah tersebut. Menurutnya, importasi ilegal dan dumping menjadi penyebab utama tekanan pada industri tekstil, termasuk penutupan pabrik dan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.
Redma menekankan bahwa penegakan hukum yang konsisten menjadi kunci, termasuk peran Bea Cukai dalam menutup jalur masuk ilegal.
Pengetatan Pengawasan Jalur Pemasok
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyoroti pentingnya memberantas jalur pemasok dan importir besar baju bekas. Sekretaris Jenderal API, Andrew Purnama, menyatakan pemerintah perlu memperkuat sisi hulu agar arus barang ilegal dapat dihentikan.
Meski perdagangan thrift di dalam negeri diperbolehkan, importasi pakaian bekas tetap dilarang. Andrew menekankan bahwa penindakan di pasar tidak akan efektif jika jalur masuk barang tetap terbuka.
Perhitungan API menunjukkan potensi kerugian negara akibat importasi ilegal baju bekas berkisar Rp600 miliar hingga Rp1 triliun per tahun.
Penurunan utilitas pabrik akibat peredaran baju bekas ilegal berdampak pada hilir dan hulu industri tekstil. Pemintal dan penenun mengurangi jam kerja, pesanan garmen lokal menurun, dan permintaan serat serta benang juga terdampak.
Industri tekstil dan garmen sendiri menyerap lebih dari 3,9 juta pekerja, sehingga efek sosialnya luas terhadap pendapatan rumah tangga.
Mengubah Pola Konsumsi dan Budaya Thrifting
Budaya thrifting di Indonesia kini berbeda dengan konsep sosial di negara lain. Aktivitas ini semula dimaksudkan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi kini menjadi tren bagi konsumen yang sebenarnya mampu membeli produk baru.
Andrew menekankan pentingnya mengedukasi masyarakat agar membeli produk lokal, yang harganya terjangkau antara Rp50.000–200.000. Dengan membeli produk lokal, para pekerja dalam industri tekstil tetap memiliki penghasilan, dan ekonomi domestik tetap bergairah.
Pemerintah perlu memadukan kebijakan pengawasan dengan edukasi publik agar thrifting kembali menjadi kegiatan sosial, bukan gaya hidup bagi yang mampu.
Mafia Lintas Negara dan Tantangan Penegakan
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengingatkan adanya praktik mafia lintas negara di balik impor baju bekas.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi, Andry Satrio Nugroho, menyebut fenomena ini bukan persoalan lokal semata, tetapi juga terjadi di Asia Tenggara, termasuk Malaysia dan Thailand.
Andry menekankan bahwa pemerintah harus memperkuat pengawasan di sisi hulu. Kementerian Keuangan dan Kemendag tidak cukup fokus pada pasar domestik, tetapi harus menutup pintu masuk sebagai entry point pertama barang ilegal.
Jika jalur ini terbuka, arus impor akan terus merugikan industri dan negara melalui hilangnya potensi penerimaan pajak dan bea masuk.
Selain itu, baju bekas impor juga menimbulkan risiko kesehatan dan pelanggaran hak kekayaan intelektual, termasuk peredaran barang palsu atau KW. Namun, proses pengetatan harus tetap mempertimbangkan keberlangsungan pedagang kecil agar tidak kehilangan mata pencaharian.
Dukungan pemerintah melalui pembinaan dan bantuan modal menjadi solusi penting untuk transisi mereka ke perdagangan yang legal dan berkelanjutan.